Apa yang kamu cari?

Kesenangan, lihat di enjoy
Pembelajaran, lihat di learn
Semangat, lihat di inspire


Friday 20 November 2009

Pendidikan menurut ki Hajar Dewantara

Soewadri Soerjaningrat, atau Ki Hajar Dewantara, yang kita kenal sebagai Bapak Pendidikan Indonesia patut bersedih. Karena segala cita-citanya dalam dunia pendidikan telah disalahjalurkan oleh sistem ini.

Cita-cita

Dalam perspektif Ki Hajar Dewantara, seseorang dapat dikatakan menjadi terdidik apabila orang tersebut telah memenuhi tiga aspek dari keberadaan manusia. Yaitu : daya cipta (pemikiran), daya karsa (ketrampilan) dan daya rasa (perasaan).

Sebenarnya, jika dikonversikan ke dalam kurikulum sekarang, ketiga poin tersebut sudah dipenuhi. Karena pemikiran adalah arti lain dari kognitif, ketrampilan adalah poin psikomotor, pun perasaan yang merupakan penjelmaan dari poin afektif.

Salah jalur

Namun, sistem pendidikan sekarang ini seolah mengharamkan segala bentuk pemanusiaan seperti yang beliau sampaikan. Pendidikan sekarang tidaklah lagi akan menciptakan kualitas akademisi yang berkepribadian dan akan membentuk budaya bangsa nantinya, melainkan hanya menjadikan para pemilik teori yang susah untuk diterima masyarakat. Karena sudah terlihat dari berbagai kebijakan yang dijalankan yang menunjukkan betapa pendidikan di Indonesia ini hanya menekankan akan pemahaman teori.

Ketika yang menjadi patokan adalah teori, maka lulusannya pun – katakanlah – super pintar tapi ternyata tidak mempunyai karakter. Menjadi sebuah prototype yang pasaran.

Bangsa ini harus segera mereformasi segala bentuk kurikulum dan penekanan yang ada. Kalau kita ingin menghargai Bapak Pendidikan kita, maka kembalikanlah jalur pendidikan seperti yang beliau harapkan pada tahun 1922 dulu. Untuk memanusiakan manusia.

Faktor sukses

Berikut ini adalah hasil survey yang dilakukan oleh Thomas J. Stanley, Ph.D yang ditulis dalam bukunya, The Millionaire Mind. Survey yang dilakukan di Amerika ini, punya 1.001 responden. Dari 1.001 orang ini, 733 adalah miliuner dengan kekayaan di atas USD 1 juta. Hebat bukan? Daftar faktor sukses ini diurutkan dari yang paling berpengaruh, dan seterusnya.

1. Jujur pada semua orang
2. Disiplin tinggi
3. Supel, pintar bergaul
4. Punya pasangan yang mendukung
5. Kerja keras
6. Cinta pekerjaannya
7. Kepemimpinan yang baik
8. Semangat dan kompetitif
9. Hidup teratur
10. Bisa menjual ide atau produk
11. Investasi dengan bijak
12. Melihat peluang yang tak dilihat orang lain
13. Jadi bos atas diri sendiri, tidak mudah terpengaruh
14. Berani ambil resiko
15. Punya mentor yang baik
16. Berambisi untuk dihormati atau dihargai
17. Bikin usaha sendiri
18. Menemukan peluang
19. Punya energi besar
20. Fisik yang sehat
21. Punya IQ tinggi atau superior
22. Punya keahlian atau spesialisasi
23. Masuk sekolah atau universitas top
24. Mengabaikan kritik yang tiada guna
25. Hidup hemat
26. Iman kuat
27. Beruntung
28. Investasi di perusahaan publik
29. Punya penasehat investasi (keuangan) yang baik
30. Lulus dengan nilai terbaik atau hampir terbaik

Kalau kita lihat hasil survey tersebut, sangat sangat menunjukkan kalau sekolah itu memanglah tiada guna. Karena apa yang akan kita dapatkan dari 12 tahun sekolah dan 4 tahun kuliah hanyalah 4 poin, yaitu : disiplin (itu pun disiplin yang dipaksakan) ; IQ tinggi ; sekolah top ; lulus dengan nilai baik.

Saya bukan mau bilang bahwa seorang yang berpendidikan sukses tak akan sukses hidupnya, hanya saja kita tidak boleh memandang suksestidaknya seseorang hanya dari latar belakang pendidikannya saja. Banyak pula yang berpendidikan rendah malah lebih sukses daripada mereka yang luar biasa dalam pencapaian akademiknya.

Saya juga bukannya antisekolah atau skeptis terhadap pemerintah. Hanya saja, sistem pendidikan – kurikulum – di Indonesia harus segera direformasi karena sudah tidak sesuai dengan kebutuhan global.

Wednesday 28 October 2009

Hah, lada !!!

Hah, lada !!!

Tadi pas presentasi pengantar ilmu komunikasi, bu risma ngatain saya ga becus jadi moderator.
Uda gitu dibilang ga sopan gara2 saya ngatain si imar itu terlalu textbook.

Gawat, bu rismanya jd misinterpretasi ama ucapan saya.
Alhasil citra saya jadi sedikit merosot di hadapan bu risma.
Saya jadi takut bu risma melakukan labeling "anak ga tau etika sejagat" ke saya.

Padahal maksud saya ke si imar itu,
"Kalo ga bisa pake dan hapal bhs buku yang berbelit2, meningan pake bhs sendiri aja. ga usah maksa2 jadi akademisi dengan standar kosakata yang berkelas deh, Mar!"
Terus kalo emang si imar dapet pertanyaan dan jawabannya di buku, ngapain diatanyain ke kelompok kami?

Udah gitu ngatain kelompok kami dengan "udah, ga usah dijawab, temen aku udah dapet jawabannya kok" dan "kalo emang kalian ga bisa, kenapa moderator ga ngelempar pertanyaan ini ke semua?"

Well, hallo?
Siapa juga yang ga bisa jawab? toh saya berdiri juga karena saya mau jawab.


Belum lagi pengantar soal si imar yg begitu panjang dan terputus-putus, parahnya ga ada relevansinya sama soal yg kamu ajukan.
Jadi tujuan si imar pake pengantar itu apa? Apa cuma biar orang tahu kalo dia tahu soal "fungsi surat kabar" itu?

Dan satu lagi ya, kami ini make nalar dan logika penjawaban sendiri, tanpa buku.
"Jadi lazim rasanya kalo kami minta waktu yang lebih buat mikirin jawaban dari pertanyaan sok intelek kamu, Mar!"

Emangnya kamu yang nyari jawaban dan pertanyaan sebatas dari buku?


Pokoknya hari ini presentasinya ga puas !!!

Hah, lada !!! Seuh hah....
Serasa makan cabe 3 truk..

Okay okay, no problem.
Enough.

Kalo curhatnya kepanjangan, ntar ga sempet bikin tugas ilmu politik.
Start smiling...

:) :) :)

Tuesday 27 October 2009

Pabrik Itu Bernama Sekolah

Saya terlewat kagum kepada seorang Izza Ahsin dalam bukunya Dunia tanpa Sekolah. Ia walaupun dengan umur yang masih begitu muda berani mengungkapkan pendapatnya terhadap dunia pendidikan. Izza baru berumur 15 tahun waktu itu. Saat itu dia kelas 3 SMP 3 bulan lagi UAN dan ia memberanikan diri untuk keluar (berhenti) sekolah. Karena ia menganggap sekolah hanyalah formalitas belaka (ya, saya setuju) dan telah memenjarakan segala kreatifitasnya (ya, setuju lagi). Sekolah menurutnya bukan lagi tempat yang pantas untuk mencari ilmu-ilmu yang akan menuntunnya untuk capai cita-citanya untuk jadi seorang penulis. Walaupun dengan berat hati, tapi akhirnya ibunda Izza rela melepaskan anaknya dari bangku sekolah. Walaupun setelah itu ia harus menerima berbagai macam cemoohan dan ejekan dari tetangga bahkan saudaranya sendiri. Namun begitu, ia malah dengan hebatnya bisa menulis buku berjudul Dunia Tanpa Sekolah. Takjub.

Saya sampai terkagum-kagum ketika baca tulisannya yang seperti ini Aku memilih melawan arus; membebaskan diriku sepenuhnya, tetapi juga mendapat tantangan berat dari luar. Yaitu, dari orang-orang yang menganggap anak yang tidak ingin sekolah, tetapi ingin belajar adalah lelucon; Sedangkan anak yang sekolah, tetapi tidak belajar adalah biasa Sungguh, pemikiran sederhana dari seorang Izza ini amat menggugah saya pribadi. Saya pun jadi berfikir, kenapa ada stigma seperti itu di masyarakat?

Sejarah sekolah

Sistem “sekolah” yang ada sekarang ini adalah hasil dari pencarian seorang Horace Mann yang pada tahun 1837 diangkat menjadi Commissioner of Education, semacam menteri pendidikan di Amerika.

Pendidikan di Amerika awalnya adalah dengan cara mengumpulkan siswa lalu menyuruhnya untuk menghafal teori untuk kemudian dites di depan. Parah. Ketika Amerika sedang meledak populasinya, dan kebutuhan akan pendidikan secara signifikan naik, maka ia pun pegi ke Eropa untuk mencari sebuah sistem pendidikan yang murah dan efektif.

Maka ditemukan dan dikembangkanlah sistem sekolah seperti sekarang ini. Ada guru, juga murid secara klasikal. Ada tingkatan kelas, ada materi pembelajaran dan ada tes (ujian) Yang sebenarnya ini adalah hasil adaptasi terhadap sistem militer Prusia (sekarang Jerman).

Kata kindergarten (bahasa Inggris : TK) sendiri sebenarnya adalah bahasa Prusia. Sistem sekolah Prusia digunakan untuk mendidik tentara. Dan karena yang akan dibentuk adalah suatu makhluk militer –yang tentunya siap pakai- maka harus ada yang berpangkat tinggi dan rendah, maka dibentuklah system Top-Down juga sistem ujian untuk menyaringnya.

Kloning siswa

Menarik kalau kita ingat kembali masa-masa SD dulu. Coba ingat lagi masa-masa itu. Masa-masa kita lagi lucu-lucunya. Tepatnya saat pelajaran kesenian. Dan ketika disuruh menggambar, apa yang digambar siswa? Pasti pemandangan. Ada dua buah gunung, dengan matahari yang berbentuk seperempat lingkaran timbul dari balik gunung itu. Di atasnya, ada banyak “m” yang ceritanya adalah burung. Juga ada awan bulat. Di bawahnya ada semacam garis-garis zigzag seperti sandi rumput yang menandakan bahwa itu adalah hutan. Di bawahnya, ada sawah terbentang dengan bentuk padi yang menyerupai “v” dengan beberapa buah rumah tersebar. Dan tepat di tengahnya, ada jalan raya, kalaupun tidak, pasti sungai.


Gambar ini hasil googling "pemandangan anak tk"

Familiar? Belum lagi masalah kapal-kapalan dari kertas. Pasti bentuknya itu lagi itu lagi. Terlihat di sini kebenaran pernyataan Izza Ahsin, sekolah memang benar-benar telah memenjarakan kreatifitas manusia.

Saya jadi ingat waktu kelas 2 SD dulu, saya pernah membuat gambar yang berbeda dari teman kebanyakan, kalau teman membuat pemandangan gunung, saya membuat pemandangan pantai. Memang gambarnya tak bagus bagus amat, tapi yang buat saya kecewa adalah cemoohan dari teman serta guru. Mereka bilang “Ko kamu bikin pantai sih?”

Refleksi

Hasilnya terlihat bukan? Sebagai contoh, para tentara kita itu jauh lebih “kembar” ketimbang yang kembar identik sekalipun. Mereka mendapat doktrin yang sama, mendapat “kekejaman” yang sama, mendapat “otoritas” kedisiplinan yang sama sampai rambut pun dipotongcepak sama. Mereka (maaf) bak produk robot-robot dari sebuah pabrik. Tanpa karakter sedikitpun. Tapi itu tak jadi masalah, karena mereka adalah tentara yang tugasnya adalah membela Negara. Mereka memang harus berstandar sama sesuai dengan prinsip kesamaan agar solidaritas yang amat sangat tetap hadir di antara mereka.

Tapi, apa itu yang diharapkan dari lulusan sekolah? Sudahlah, cukup Akpol dan Akmil yang bikin lulusan “robot” seperti itu, lulusan sekolah jangan. Lulusan sebuah sekolah apalagi universitas harus punya karakter yang dibutuhkan oleh negeri ini, harus punya kreatifitas dan daya saing.

Lihatlah hasil lulusan sistem sekarang. Mayoritas mereka adalah manusia-manusia robot yang kaku seolah tak dimasukkan program “perasaan” dalam memorinya yang kepenuhan teori itu. Lihat pula para “pejabat” yang terlihat tidak punya hati Karena dengan semena-mena mempermainkan rakyat juga uangnya. Mereka manusia, tapi tidak manusiawi.

Reformasi

Sekolah yang sekarang mirip pabrik ini– seharusnya tidak mensubstitusikan materi kepada peserta didiknya semacam itu. Karena bagaimanapun, Tuhan Yang MahaKuasa sudah menghadiahi masing-masing individu dengan kemampuan unik masing-masing. Pemerintah tidak boleh memukulratakan kemampuan semua siswa. Tuhan membuat manusia bukan untuk bersaing, melainkan untuk berdamping, karena antara manusia yang satu dan yang lainnya adalah sama-sama istimewa dan berharganya. Dan tak ada yang lebih hebat di antaranya.

Sekolah, saya rasa seharusnya “hanya” jadi pendamping dan sebagai salah satu fasilitas untuk para peserta didiknya mencari kemampuan uniknya atau si “aku yang hebat”nya masing-masing. Karena tidak semua orang secerdas Izza, yang mampu menemukan “Izza yang hebat” dalam dirinya melalui dunia kepenulisan.

Sunday 25 October 2009

Inspirasi : Izza Ahsin

Sayangnya, hanya gambar ini yang saya punya

Dia adalah salah satu sumber inspirasi terkuat yang saya miliki.

Emangnya apa sih inspirasi yang dia beri?

Pertama, dia telah secara berani dan bijak mengungkapkan kekesalannya pada sekolah formal dengan mengatakan bahwa sekolah formal itu begini dan begitu. Karena membaca perkataan inilah pemikiran saya terhadap sekolah mengalami revolusi : jadi pernah males sekolah. Hahai.

Nah, yang ini efek sampingnya. Yaitu merevolusi paradigma dan mengabrasi tebing stigma pendidikan yang memarasit di otak saya : bahwa sistem pendidikan di Indonesia ini sudah terlalu amburadul, dan harus segera diformat ulang biar tujuan pendidikan nasional seperti yang tercantum dalam alinea ke-4 pembukaan UUD 1945, "mencerdaskan kehidupan bangsa", bisa tercapai.

Kedua, kepribadian yang kuat. Dalam proses mengeluarkan dirinya sendiri dari sekolah formal ia mengalami banyak problematika (alah) menerpa dirinya dengan begitu kejam dan menyakitkan (alah). Dan itu ia hadapi dengan cerdas serta elegan. membuat saya merubah cara "rebel" ke orangtua menjadi lebih cerdas.

Ketiga, menulis buku. Membaca bukunya yang ia tulis pas tiga tahun lalu -masih jadi anak smp bo- membuat saya berfikir : hoalah, anak smp aja bisa nulis buku, masa saya ga bisa? ayo semangat !!!

Makasi atas segala inspirasi yang kamu kasih, Zza.

:) :) :)




Saturday 24 October 2009

Stigma Pendidikan

Sekolah dengan sistem pendidikan seperti ini sudah cukup berumur. Sudah cukup lama sehingga mampu untuk membuat stigma yang sangat mengakar pada orangtua siswa. Stigma yang selama ini membuat banyak anak-anak merasa terpenjara oleh jeruji tuntutan.

Sudah menjadi pikiran umum pada orangtua siswa bahwa untuk sukses di masa depan, haruslah sekolah. Hal ini terbukti dari berjubelnya orangtua siswa yang ingin mendaftarkan anaknya untuk sekolah di setiap awal tahun ajaran baru.

Padahal, kalau memang mau sukses – katakanlah punya uang yang takkan habis 7 turunan – tak perlu sekolah. Karena dapat apa sih dari sekolah itu? Apa yang jadi jaminan dari pihak sekolah bahwa si anak-didiknya itu akan berhasil di kehidupan kelak? Bualan tentang pelajaran kah?

Para orangtua – karena sudah terkontaminasi – biasanya akan marah ketika melihat anaknya hanya mendapat 5 dalam pelajaran IPA, akan marah ketika si anak tidak dapat ranking 3 besar, akan marah ketika si anak tidak tahu nama planet ke-4 dari matahari, dan akan marah ketika anaknya tidak bisa menghitung pengakaran. Padahal hal itu salah besar. Ada banyak hal yang harus diperhatikan dari seorang anak. Anak itu bukan sekedar Buku Pintar yang dapat ditanyai semua hal tentang itu. Anak punya karakter dan kemampuan unik. Ketika si anak membantu temannya, berkata jujur, beribadah, dan mencari teman, sebenarnya itulah yang harus disorot dalam perkembangan anak. Karena sudah jelas-jelas si anak tidak akan memakai yang namanya persamaan logaritma ketika ia mau diterima oleh masyarakat.

Masyarakatnya, pada masa depannya, tidak akan lagi bertanya “lulusan mana?” atau “IPK berapa?” pada si anak. Masyarakat jelas-jelas akan melihat kepribadian, kemampuan bersosialisasi, kemampuan bertenggangrasa, kemampuan memecahkan masalah dan etika yang semuanya itu tidak diajarkan di sekolah.

Lantas untuk apa sekolah?

Mindset yang sudah mengakar inilah yang akan membuat Human Index Development Indonesia terus merosot sampai level terbawahnya. Karena itu stigma ini harus segera dihilangkan sebelum anak-anak lain gantung diri karena tertekan dengannya.

Logika Orang Biasa

Mengutip perkataan seorang Wimar Witoelar, Jadilah orang biasa!”, membuat kita berfikir; apalah hebatnya jadi orang biasa? Padahal berjuta motivator yang tidak biasa menginginkan setiap orang agar menganggap dirinya luar biasa spektakuler dan potensial. Tentulah tidak begitu menyenangkan kalau kita punya postur badan yang biasa dengan tinggi yang biasa pula, punya muka yang rata-rata –atau kita sebut muka rata, punya kecerdasan –mungkin lebih cocok dikatakan kemampuan– yang hanya biasa-biasa, ataupun punya kemapanan dan keterpandangan yang juga sangat biasa.

Lantas apa hebatnya? Sebenarnya logika orang biasa ini punya banyak sekali manfaat. Logika orang biasa membuat kita tidak takut kehilangan sesuatu. Kita sering lupa bahwa menjadi luar biasa dalam beberapa hal –katakanlah kecerdasan dengan IQ di atas 130, kamapanan yang tak habis tujuh turunan dan paras yang rupawan bak dipahat seorang malaikat– seringkali membuat kita menjadi terlalu berhati-hati dalam melakukan banyak hal.

Ketika kita adalah seorang yang jenius luar biasa maka kita akan terlalu berhati-hati dalam berperilaku dan berucap agar tetap terlihat bak sebuah ensiklopedia berjalan yang selalu memenuhi stardar keilmuan. Kita akan sangat anti melakukan tindakan konyol karena menganggap itu terlalu berbahaya. Ketika kita adalah orang yang punya kemapanan luar biasa maka kita akan terlalu berhati-hati dalam berbelanja supaya kemapanan itu tidak hilang. Kita jadi terlalu teliti dan akhirnya menanggap penanaman modal itu terlalu riskan. Dan ketika kita adalah orang yang rupawan maka kita akan terlalu hati-hati dalam merawat tubuh, kita akan membeli ini dan itu, dan merasa begitu nista ketika dikatakan jelek. Kita jadi terlalu hati-hati dalam melakukan kegiatan, kalau panas harus memakai topi atau payung, sampai-sampai harus beli baju yang ‘chique’ untuk setiap acara.

Tapi alangkah senangnya ketika kita menjadi orang biasa yang tidak mengindahkan logika kesempurnaan. Ketika kita adalah orang yang punya otak biasa dan salah menyebutkan penemu hukum relativitas ataupun teori politik maka kita tinggal meminta maaf. Ketika tidak tahu harus berbuat apa kita tinggal bertanya tanpa harus takut kehilangan label “makhluk terpandai sejagat”. Ketika kita adalah orang yang punya kemapanan yang biasa, maka kita tidak akan terlalu curiga kepada para penawar kartu kredit ataupun peminta sumbangan. Kita pun akan lebih terbuka dalam memberi. Dan ketika kita adalah orang dengan muka rata, ataupun punya bibir memble atau badan letoy atau rambut gulali atau apa lah, maka kita tidak akan terlalu berhati-hati dalam berkegiatan, kita tidak harus memakai sun-block sebelum berjalan-jalan, kita pun tidak perlu terlalu giat pergi ke salon untuk melakukan perawatan. Juga tidak merasa nista ketika dikatakan jelek, karena memang begitu kenyataannya.

Tapi yang jelas, tidak baik jika kita menjadi seorang ekstrimis dan memakai logika orang biasa ini dalam berbagai aspek kehidupan. Karena logika ini hanya pas untuk mereka yang sulit menghilangkan perasaan takut salah dan sindrom mr. perfect wanna be pada setiap waktu, logika ini pun membuat kita lebih mensyukuri apa yang ada dalam diri.

Wednesday 21 October 2009

Negara

[Part 1. asal, sifat dan unsur]

"Negara adalah sebuah organisasi di sebuah wilayah yang punya kekuasaan tertinggi yang sah dan harus ditaati rakyatnya."

(Miriam Budiardjo)


Asal mula negara
a. Kontrak sosial. Ada perjanjian antarkelompok untuk mendirikan sebuah negara.
contoh : Indonesia. Jong Java, Jong Ambon, Jong Sumatra dan Jong Jong lainnya yang berkumpul untuk melawan penjajah dan membentuk Indonesia.

b. Kekuasaan. Ada dominasi dari yang kuat ke yang lemah. Sejenis hukum rimba.
contoh : Australia. Suku Aborigin yang akhirnya menyingkir dari Tanah Australia dan membiarkan bangsa Eropa membangun Australia.

c. Ketuhanan. Negara adalah pemberian Tuhan dan raja/ratu yang memimpin adalah perpanjangan tangan Tuhan.
contoh : Israel. Konsepsi Musa yang menyebutkan bahwa Israel adalah tanah terjanji yang diberikan Tuhan pada bangsa Yahudi.

d. Patriakhal-matriakhal. Negara terbentuk atas garis keturunan.
Patriakhal adalah garis ayah, matriakhal adalah garis ibu.
contoh : Inggris. Pemimpin negara ini selalu dilanjutkan oleh keturunan pemimpin sebelumnya.

e. Organis. Negara itu seperti makhluk hidup. Ada kelahiran, pertumbuhan, dewasa, tua dan akhirnya mati (lho!)

Sifat negara

a. Memaksa. contoh : UU negara.
b. Monopoli. Negara menguasai nilai-nilai vital dari Masyarakat. Kalo yang absolut ada di Cina, Rusia. contoh : pelarangan Lia Eden.
c. Mencangkup semua. contoh : UU APP yang berlaku se-Indonesia. Ngga misalkan hanya berlaku di jawa Barat aja.

Unsur negara

a. Rakyat
b. Wilayah
c. Pemerintahan yang berdaulat
(diakui rakyatnya dan diakui pemerintahan lain)





Daftar menteri KIB 2

[Lihat daftar menteri di sini]
[Laporan selang 1 jam dari kejadian aslinya]
[Masih fresh]

Sekitar pukul 22.00, Presiden SBY sudah mengumumkan siapa sajakah para pembatunya di kabinet jilid 2 mendatang di Istana Merdeka Jakarta. Dan tanpa perlu mendongeng akan komposisi politisi dan profesional terlebih dahulu, ini dia para pembantu tersebut.


Menteri Koordinator
Menkopolhukam
Djoko Suyanto

Menkoperekonomian
Hatta Radjasa

Menkokesra
Agung laksono

Mensesneg
Sudi Silalahi

Menteri Departemen
Mendagri
Gamawan Fauzi

Menlugri
Marty Natalegawa

Menhan
Purnomo Yusgiantoro

Menhukam
Patrialis Akbar

Menag
Suryadharma Ali

Menind
MS Hidayat

Menesdm
Darwin Zahedy

Menkeu
Sri Mulyani

Menhut
Zulkifli Hasan

Mentan
Suswono

Menkes
Endang Rahayu

Menpu
Djoko Kirmanto

Mensos
Salim Segaf

Mendiknas
Muhammad Nuh

Mendag
Mari Elka Pangestu

Menlaik
Fadel Muhammad

Menhub
Freddy Numberi

Menakertrans
Muhaimin Iskandar

Menbudpar
Jero Wacik

Menkominfo
Tifatul Sembiring

Menteri Negara
Menegkoukm
Syarif Hasan

Meneglingdup
Gusti Moh. Hatta

Menristek
Suharna Surapranata

Menegpanrebi
(ditambah reformasi birokrasi)
Ee Mangindaan

Menegpepeperak
(ditambah perlindungan anak)
Linda Agum Gumelar

Menegpedate
Helmy Faisal Zaini

Menegpora
Andi Mallarangeng

Menegbumn
Mustafa Abubakar

Menegppn + Ka-bappenas
Armida Alisyahbana

Menegpera
Suharso Monoarfa

Pejabat setingkat menteri
Ka-BIN
Sutanto

Ka-BKPM
Gita Wirjawan

Ka-Pengawasan Pengendalian Pembangunan
Kuntoro


[demikian RahaReport melaporkan]

Monday 19 October 2009

Vakasi lebaran

Saya masih begitu terheran-heran ketika mengetahui bahwa lebaran 1430 H jatuh pada tanggal 20 September 2009 dan itu artinya Ramadan tahun ini hanya selama 29 hari. Saya kira, Ramadan itu akan selalu 30 hari sebagaimana Januari yang selalu 31 juga September yang selalu 30 hari. Tapi ya sudahlah, toh saya bukan seorang astronom, pun bukan seorang ahli hilal. Setidaknya perut saya tidak perlu berkeroncong-ria untuk satu hari lagi. Dan ibu saya tidak perlu membuat kolak pisang yang jadi takjil wajib bagi si ayah untuk ketigapuluh kalinya.

Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya dimana kami – saya dan keluarga – mudik ke Tasikmalaya, tahun ini kami mudik – mungkin tidak bisa dikatakan mudik – ke rumah kakak yang ada di Bandung. Pasalnya, nenek saya sedang ada di Bandung, dan itu tepat di rumah saya, menyebabkan saudara dari Bogor dan Tasik yang dapat giliran ke Bandung. Dan karena itu pulalah, saya tidak menjuduli tulisan ini dengan judul klasik seperi “berlibur ke rumah nenek” atau “mudik ke tasikmalaya” seperti yang saya lakukan dari masa SD sampai SMA ketika saya belum mengerti cara menulis.

Sebagai tuan rumah, beberapa hari sebelumnya, tentunya kami harus menyiapkan berbagai keperluan lebaran entah itu kue kering – yang entah kenapa selalu – berupa kastengel, nastar dan kue salju, sampai menu khas lebaran – yang entah kenapa pula selalu – berupa opor ayam, sambal goreng kentang dan ase cabe hejo, disempurnakan dengan kerupuk udang tentunya.

Hari ini adalah hari minggu dan ini tepat hari lebaran. Saat saya mandi saya tidak memikirkan betapa elegannya jika saya bisa menggantikan Luna Maya dalam iklan sabun, tapi memikirkan pakaian apa yang akan saya pakai nanti. Dan setelah memakai beberapa produk perawatan tubuh agar berkilau bak seorang bidadari di hari spesial ini, saya dan keluarga pun ber-salat id-ria. Walau tak ada keriaan yang menyertai, tapi saya tetap menyebutnya demikian. Tentunya diteruskan dengan acara sungkeman yang – ternyata - tidak sesyahdu seperti di Tasikmalaya. Tak ada air terjun dari air mata, atau air mata terjun – atau air terjun mata, ya? – yang mendekorasi pipi kami. Tak ada pula raungan-raungan penyesalan yang didramatisir oleh tangisan hiperbolis ala sinetron.

Dan acara makan pun dimulai, tanpa harus dikomando saya sudah dengan sigap memenuhi panggilan alam, kelaparan. Saya cari-cari makanan barangkali ada makanan enak sebangsa kue tart tapi sayangnya tidak ada, saya pun terhenyak – maaf, berlebihan – tepatnya, tersadar kalau ini adalah acara lebaran dan bukan hari ulang tahun! Maka saya akhirnya mengambil opor ayam dan ketupat seperti sepuluh lebaran pada sepuluh tahun terakhir.

Pemenuhan panggilan alam pun selesai, kami langsung berbenah dan memasukkan segala masakan - yang tidak sedikit itu - untuk kemudian dibawa ke rumah kakak yang ada di daerah Turangga yang akan dijadikan markas besar keluarga besar kami pada lebaran tahun ini. Makanan yang ada, termasuk satu ember opor ayam dan satu ember ketupat – ya ampun, apa kami terlihat bak keluarga pecinta ember ya? – juga dua waskom yang salah satunya berisi ase cabe hejo dan satunya lagi berisi sambal goreng kentang kami masukkan kedalam mobil Toyota Yaris yang mungil itu. Ditambah 4 toples besar makanan ringan, terbayang suasana ketika kami pergi dari rumah kami di Cipadung ke rumah kakak di Turangga, bukan? Sumpek.

Sampai di markas besar, kami pun langsung berbenah rumah. Memasang ini dan itu, menggeser ini dan itu, serta menginiitukan ini dan itu. Membuat kami tampak heboh. Namun setelah kami mengalami penantian panjang selama 2 jam, keluarga lain nampaknya belum bersua juga. Ya sudah, kami memutuskan untuk pergi ke Sukajadi terlebih dahulu untuk bertemu dengan keluarga dari pihak ayah.

Mobil mungil kami meluncur di tengah-tengah lengangnya jalanan kota Bandung, sehingga untuk sampai ke Sukajadi pun tidak butuh 15 menit. Saya pun langsung sungkem pada keluarga disana, lalu memenuhi panggilan alam lagi, kelaparan. Saya celingak-celinguk mencari makanan lain. Tapi entah karena menjunjung tinggi tradisi atau terlalu monoton sehingga tak ada makanan lain selain opor ayam dan ketupat. Ya ampun.

Acara pun berlanjut dengan bualan-bualan dari kakek dan paman saya kepada sepupu saya. Yang mengungkapkan betapa bodohnya Nanai – begitu sepupu saya biasa dipanggil – yang memilih sekolah di SMA BPI setelah ia tidak diterima di negeri. Saya sempat terheran-heran melihat betapa konservatifnya pikiran bapak-bapak disini. Padahal sekolah bisa dimana saja dan yang penting adalah kualitas pribadi Nanai itu, pikir saya. Selama itu, Nanai tertunduk malu, sungguh ironi.

Batas minimal ini pun ditandai dengan sebuah kenistaan yang tidak elegan.

Lalu objek penderita pun berubah menjadi saya. Mereka menghinadina dan mencacimaki – maaf, berlebihan – tepatnya membicarakan tentang kegagalan saya yang tidak lulus SNMPTN, padahal mereka – termasuk orangtua saya – tidak tahu kalau saya tidak ikut SNMPTN. Lantas mereka banyak berbual tentang kenalan-kenalan mereka yang lulus dari ITB dengan IPK tiga koma sekian yang langsung diterima di sebuah perusahaan minyak di Prancis. Padahal mereka – dan saya pun – tahu kalau bekerja disana belum tentu “sukses” hidupnya karena tak ada satupun universitas di jagat pendidikan Indonesia – termasuk ITB - yang memberikan sertifikat penjamin kesuksesan hidup.

Mereka memberi banyak petuah agar saya jangan bermalas-malasan dalam kuliah agar nanti dapat IPK tiga koma. Ya ampun, mereka pikir saya ini anak yang asal-asalan kuliah. Padahal saya sudah punya rencana yang lebih besar. Orientasi saya adalah IPK diatas tiga koma lima dan lulus dengan predikat cum laude, serta rencana untuk mengambil SKS dari tingkat lanjut kalau IPK saya pada semester kedua sudah tiga koma sekian.

Lantas, seolah saya adalah mahasiswa salah jurusan yang tertipu pencitraan orang lain atau mahasiswa manja yang kuliah dalam prodi pilihan ibunda tercinta, saya – lagi-lagi – diberi petuah. Memilih jurusan itu jangan mengikuti orang lain, jangan pula karena ikut kata orang tua, dan jangan karena ingin cepat kaya, katanya. Saya lalu mengungkapkan bahwa pemilihan jurusan komunikasi ini adalah murni pilihan saya, karena orangtua saya – sebenarnya - ingin saya masuk jurusan teknik sebangsa perminyakan yang samasekali tidak saya kuasai.

Aki Uju – begitu kami biasa memanggil kakek – lantas mengatakan bahwa saya adalah orang yang serius dalam mencapai kesuksesan hidup. Entah beliau menilai darimana. Saya pun teringat akan sesasak – maaf, salah – maksudnya, sesosok Wiliam Wongso – maaf, salah lagi – maksudnya, Andri Wongso dengan jargonnya “salam sukses, luar biasa” itu. Dan pamitnya saya serta keluarga diikuti dengan pujian dari kakek bahwa saya cocok menjadi model. Hati saya seketika bergemuruh bak mesin cuci rusak, membayangkan mungkin inilah saatnya saya menggantikan Luna Maya dalam iklan sabun. Tapi mata saya hanya berbinar sesaat karena kemudian saya tersadar, ya ampun kakek, pakailah kacamatamu itu.

Kami meluncur lagi menuju Turangga dan syok – maaf, berlebihan – tepatnya, kaget ketika enam keluarga sudah tiba. Saya pun langsung pura-pura sungkem pada mereka walau kami tahu bahwa tak ada salah yang baik dia maupun saya perbuat. Setelah itu kami bernarsis-ria dengan berfoto-foto, dan akhirnya dengan gugup – maaf, salah – maksudnya, gegap gempita menerima banyak THR dengan UMR sejumlah Rp 10.000. Dan hari pertama pun berakhir dengan obrolan panjang mengenai ikan pepes yang berasal dari kolam ikan di rumah nenek di Tasik.

Hari selanjutnya kami menonton konser MJ yang ditayangkan di RCTI dengan gaya tidur seksi bak seorang cleopatra, kemudian menyetel CD karaoke Mariah Carey dan akhirnya memutuskan untuk berjalan-jalan. Karena sayalah satu-satunya orang Bandung yang ikut pergi, saya pun menjadi pemandu bagi sepupu yang pergi ke BSM lalu ke BIP. Walau saya harus menelepon ayah dan menanyakan harus naik angkot apakah kami, untungnya sepupu saya memaklumi saya yang sedikit buta arah. Di BIP kami akhirnya memenuhi panggilan alam dengan menu yang baru! Bukan ketupat ataupun kue tart seperti yang saya idamkan, tapi kami makan Mango Chicken di restoran cepat saji A&W. Dan berhubung kami membawa kupon beli dua gratis dua, maka kami berempat masing-masing hanya membayar setengah harga. Senangnya. Di tempat ini pun kami menyelengarakan sebuah diskusi tentang “akankah tidak makan opor ayam mempengaruhi kesyahduan lebaran” yang berakhir dengan kesimpulan : kami tidak peduli.

Setelah membeli cilok dan kembali menelepon sambil menanyakan angkot yang harus kami naiki, kami pun pulang dan makan kembali dengan sosis, akhirnya opor ayam sudah habis!

Pagi di hari ketiga saya berawal dengan tidak elegan karena saya harus pergi berjalan kaki ke Superindo yang – ternyata - belum buka dalam rangka membeli mie instan untuk dimakan. Mengakibatkan saya dan dua orang sepupu akhirnya berkeliling jalan pelajar pejuang 45 selama 45 menit untuk menunggu waktu buka Superindo itu. Dan setelah tidak mendapat diskon walau kami menjadi pelanggan pertama hari itu, kami pulang.

Hari ini banyak saudara saya yang ingin ke pasar baru, belanja katanya. Saya sempat ditawari tapi kemudian menolak dengan alasan bukan penggila pasar. Dan selagi menunggu pulangnya saudara-saudara saya itu, saya hanya tidur dan makan.

Hari keempat, dan keluarga lain yang terakhir akan pulang hari ini. Dan setelah mereka pulang, kami – saya dan keluarga – tertegun dan bingung akan melakukan apa hari itu. Saya pun memutuskan untuk mengautiskan diri dengan buku-buku bacaan yang ada. Sedangkan adik saya nampak autis dengan laptop milik kakak.

Malamnya saya tersadar bahwa ada 4 tugas kuliah yang belum saya kerjakan. Dan karena kuliah saya adalah berorientasi IPK, malamnya saya meminjam laptop untuk mengerjakan tugas Bahasa Indonesia ini. Saya menulis dengan hiperbolis layaknya seorang maniak. Saya mencurahkan berbagai rasa yang bergejolak di dalam dada – maaf, berlebihan - sampai saya kebablasan karena menceritakan dua hari dalam empat halaman. Dan akhirnya pada pukul 3 saya memasukkan data tugas ini ke HP milik adik.

Hari kelima dan saya harap ini hari terkahir saya di rumah kakak karena ada banyak tugas yang menggoda untuk dikerjakan. Ternyata tidak. Ya ampun, nista. Orangtua saya mengajak saya untuk pergi ke Banjar. Saya mengatakan tidak karena harus mengerjakan tugas, padahal siang itu saya hanya tidur, makan dan membaca buku, bukan mengerjakan tugas. Sorenya saya beserta adik dan kakak pergi ke BSM untuk membeli buku. Saya membeli 4 buah buku dan akhirnya membuat dompet saya kembali langsing dengan menguras semua uang THR saya sebanyak Rp 120.000 di Gramedia. Salah satunya adalah buku bahasa Inggris yang saya jadikan alasan betapa saya berkorban demi tugas bahasa Inggris.

Malamnya, setelah orangtua saya pulang dan membawakan kami rangginang, saya kembali mengerjakan tugas. Kali ini tugas bahasa Inggris tentang simple present tense. Saya tidak membuka buku bahasa Inggris yang baru saya beli karena memang untuk “sekedar” simple present tense saya hanya perlu membuka internet. Saya lembur kembali sampai pukul 3 dan kembali memasukkan data tugas bahasa Inggris ini ke HP adik. Namun alangkah terhenyaknya saya ketika tidak menemukan data tugas bahasa Indonesia yang hilang bak ditelan bumi. Mungkin adik saya yang marah - karena siangnya saya bilang padanya untuk tidak memakai baju ungu yang dilapis dengan kemeja hitam karena warna gelap tidak cocok untuk kulitnya yang juga gelap, namun ia tetap memaksa dengan alasan prestis – menghapus datanya. Ya ampun, saya harus mengulangnya di rumah pikir saya.

Dan hari keenam, setelah saya salat jumat saya makan. Tentu akan tidak elegan menceritakannya karena tak ada yang berkesan dari acara makan kali itu selain rasanya yang enak dan komentar adik saya yang sinis terhadap saya yang hanya mengambil wortel dari sup. Mungkin ia masih marah.

Dan saya kesal sekali padanya ketika kakak saya membaca tulisan adik tentang pengalaman lebarannya. Tulisan itu dipujinya karena menarik dan lucu. Sedangkan dari paragraf 5 sampai selesai sama sekali tidak dipujinya karena tidak menarik. Kalimat keheranan tentang lama Ramadan kali ini, alasan kami tidak mudik, persiapan kami sebagai tuan rumah dan kalimat memakai beberapa produk perawatan tubuh agar terlihat berkilau bak seorang bidadari menjadi kalimat utama di paragraf-paragraf pembuka. Saya pun penasaran dan akhirnya membaca tulisan adik saya itu dan makin marah ketika tahu persis bahwa 4 paragraf pertama yang kakak saya puji sebenarnya adalah tulisan saya yang ditirunya bulat-bulat! Maaf, berlebihan – kita semua tahu tidak ada tulisan yang berbentuk bulat. Pantas saja sama.

Sorenya, setelah mengobrol panjang mengenai katu kredit sambil menunggu suami kakak – ya, kakak saya sudah menikah - yang baru tiba di Bandung dari Jakarta pada jam 5, saya dan keluarga pun pulang. Sampai di rumah saya langsung mengetik ulang tulisan ini secara lebih ringkas namun lebih hiperbolis dibanding yang pertama – supaya beda dengan tulisan adik saya, karena bagi saya menulis tidaklah sulit. Saya masih ingat persis 2 paragraf pertama dari kata per kata.

Saya mengerjakan ulang tugas ini sampai batas minimal pada magrib, membaca buku tentang reporter, kemudian tertidur selama 4 jam. Saya meneruskannya pada jam 1 dan sekarang berakhir dengan ekstra setengah halaman dari batas maksimal pada jam 3 karena saya ingin ke toilet lantaran sakit perut.

Dan tulisan ini pun berakhir dengan tidak elegan.

Sunday 18 October 2009

The Philosophy

Filosofi

[Promote myself mode : ON]
Proyek ini, Rahainspire, berlandaskan pada sebuah filosofi sederhana yang baru saja ditemukan oleh si proyektor; Raha sendiri.
[Promote myself mode : OFF]

Filosofi ini secara singkat dapat disebut dengan
elicon
atau
eliconcept
yang merupakan penyingkatan dari

enjoy, learn and inspire!
conception.

----------------------------------------------------------------------------------------------

Konsepsi ini hanya terdiri dari tiga nilai sederhana; yang diharapkan dapat menjadi motivasi hidup banyak orang.

Unsur pertama adalah enjoy, yang meliputi:
grateful, play, love

kedua adalah learn, yang meliputi:
imagine, find, explore

dan ketiga adalah inspire, yang meliputi:
help, motivate, share

Kesembilan dasar yang diringkas dalam 3 poin sederhana elicon di atas itulah yang akan menjadi dasar blog ini untuk terus menginspirasi banyak orang...

Cihuy...
:) :) :)

Photobucket Photobucket Photobucket

Wanna be inspired? Explore this...