Saya terlewat kagum kepada seorang Izza Ahsin dalam bukunya Dunia tanpa Sekolah. Ia –walaupun dengan umur yang masih begitu muda– berani mengungkapkan pendapatnya terhadap dunia pendidikan. Izza baru berumur 15 tahun waktu itu. Saat itu dia kelas 3 SMP –3 bulan lagi UAN– dan ia memberanikan diri untuk keluar (berhenti) sekolah. Karena ia menganggap sekolah hanyalah formalitas belaka (ya, saya setuju) dan telah memenjarakan segala kreatifitasnya (ya, setuju lagi). Sekolah menurutnya bukan lagi tempat yang pantas untuk mencari ilmu-ilmu yang akan menuntunnya untuk capai cita-citanya untuk jadi seorang penulis. Walaupun dengan berat hati, tapi akhirnya ibunda Izza rela melepaskan anaknya dari bangku sekolah. Walaupun setelah itu ia harus menerima berbagai macam cemoohan dan ejekan dari tetangga bahkan saudaranya sendiri. Namun begitu, ia malah dengan hebatnya bisa menulis buku berjudul Dunia Tanpa Sekolah. Takjub.
Saya sampai terkagum-kagum ketika baca tulisannya yang seperti ini “Aku memilih melawan arus; membebaskan diriku sepenuhnya, tetapi juga mendapat tantangan berat dari luar. Yaitu, dari orang-orang yang menganggap anak yang tidak ingin sekolah, tetapi ingin belajar adalah lelucon; Sedangkan anak yang sekolah, tetapi tidak belajar adalah biasa” Sungguh, pemikiran sederhana dari seorang Izza ini amat menggugah saya pribadi. Saya pun jadi berfikir, kenapa ada stigma seperti itu di masyarakat?
Sejarah sekolah
Sistem “sekolah” yang ada sekarang ini adalah hasil dari pencarian seorang Horace Mann yang pada tahun 1837 diangkat menjadi Commissioner of Education, –semacam menteri pendidikan– di Amerika.
Pendidikan di Amerika awalnya adalah dengan cara mengumpulkan siswa lalu menyuruhnya untuk menghafal teori untuk kemudian dites di depan. Parah. Ketika Amerika sedang meledak populasinya, dan kebutuhan akan pendidikan secara signifikan naik, maka ia pun pegi ke Eropa untuk mencari sebuah sistem pendidikan yang murah dan efektif.
Maka ditemukan dan dikembangkanlah sistem sekolah seperti sekarang ini.
Kata kindergarten (bahasa Inggris : TK) sendiri sebenarnya adalah bahasa Prusia. Sistem sekolah Prusia digunakan untuk mendidik tentara. Dan karena yang akan dibentuk adalah suatu makhluk militer –yang tentunya siap pakai- maka harus ada yang berpangkat tinggi dan rendah, maka dibentuklah system Top-Down juga sistem ujian untuk menyaringnya.
Kloning siswa
Menarik kalau kita ingat kembali masa-masa SD dulu. Coba ingat lagi masa-masa itu. Masa-masa kita lagi lucu-lucunya. Tepatnya saat pelajaran kesenian. Dan ketika disuruh menggambar, apa yang digambar siswa? Pasti pemandangan.
Saya jadi ingat waktu kelas 2 SD dulu, saya pernah membuat gambar yang berbeda dari teman kebanyakan, kalau teman membuat pemandangan gunung, saya membuat pemandangan pantai. Memang gambarnya tak bagus bagus amat, tapi yang buat saya kecewa adalah cemoohan dari teman serta guru. Mereka bilang “Ko kamu bikin pantai sih?”
Refleksi
Hasilnya terlihat bukan? Sebagai contoh, para tentara kita itu jauh lebih “kembar” ketimbang yang kembar identik sekalipun. Mereka mendapat doktrin yang sama, mendapat “kekejaman” yang sama, mendapat “otoritas” kedisiplinan yang sama sampai rambut pun dipotongcepak sama. Mereka (maaf) bak produk robot-robot dari sebuah pabrik. Tanpa karakter sedikitpun. Tapi itu tak jadi masalah, karena mereka adalah tentara yang tugasnya adalah membela Negara. Mereka memang harus berstandar sama sesuai dengan prinsip kesamaan agar solidaritas yang amat sangat tetap hadir di antara mereka.
Tapi, apa itu yang diharapkan dari lulusan sekolah? Sudahlah, cukup Akpol dan Akmil yang bikin lulusan “robot” seperti itu, lulusan sekolah jangan. Lulusan sebuah sekolah apalagi universitas harus punya karakter yang dibutuhkan oleh negeri ini, harus punya kreatifitas dan daya saing.
Lihatlah hasil lulusan sistem sekarang. Mayoritas mereka adalah manusia-manusia robot yang kaku seolah tak dimasukkan program “perasaan” dalam memorinya yang kepenuhan teori itu. Lihat pula para “pejabat” yang terlihat tidak punya hati Karena dengan semena-mena mempermainkan rakyat juga uangnya. Mereka manusia, tapi tidak manusiawi.
Reformasi
Sekolah –yang sekarang mirip pabrik ini– seharusnya tidak mensubstitusikan materi kepada peserta didiknya semacam itu. Karena bagaimanapun, Tuhan Yang MahaKuasa sudah menghadiahi masing-masing individu dengan kemampuan unik masing-masing. Pemerintah tidak boleh memukulratakan kemampuan semua siswa. Tuhan membuat manusia bukan untuk bersaing, melainkan untuk berdamping, karena antara manusia yang satu dan yang lainnya adalah sama-sama istimewa dan berharganya. Dan tak ada yang lebih hebat di antaranya.
Sekolah, saya rasa seharusnya “hanya” jadi pendamping dan sebagai salah satu fasilitas untuk para peserta didiknya mencari kemampuan uniknya atau si “aku yang hebat”nya masing-masing. Karena tidak semua orang secerdas Izza, yang mampu menemukan “Izza yang hebat” dalam dirinya melalui dunia kepenulisan.
0 comments:
Post a Comment