Apa yang kamu cari?

Kesenangan, lihat di enjoy
Pembelajaran, lihat di learn
Semangat, lihat di inspire


Wednesday 28 October 2009

Hah, lada !!!

Hah, lada !!!

Tadi pas presentasi pengantar ilmu komunikasi, bu risma ngatain saya ga becus jadi moderator.
Uda gitu dibilang ga sopan gara2 saya ngatain si imar itu terlalu textbook.

Gawat, bu rismanya jd misinterpretasi ama ucapan saya.
Alhasil citra saya jadi sedikit merosot di hadapan bu risma.
Saya jadi takut bu risma melakukan labeling "anak ga tau etika sejagat" ke saya.

Padahal maksud saya ke si imar itu,
"Kalo ga bisa pake dan hapal bhs buku yang berbelit2, meningan pake bhs sendiri aja. ga usah maksa2 jadi akademisi dengan standar kosakata yang berkelas deh, Mar!"
Terus kalo emang si imar dapet pertanyaan dan jawabannya di buku, ngapain diatanyain ke kelompok kami?

Udah gitu ngatain kelompok kami dengan "udah, ga usah dijawab, temen aku udah dapet jawabannya kok" dan "kalo emang kalian ga bisa, kenapa moderator ga ngelempar pertanyaan ini ke semua?"

Well, hallo?
Siapa juga yang ga bisa jawab? toh saya berdiri juga karena saya mau jawab.


Belum lagi pengantar soal si imar yg begitu panjang dan terputus-putus, parahnya ga ada relevansinya sama soal yg kamu ajukan.
Jadi tujuan si imar pake pengantar itu apa? Apa cuma biar orang tahu kalo dia tahu soal "fungsi surat kabar" itu?

Dan satu lagi ya, kami ini make nalar dan logika penjawaban sendiri, tanpa buku.
"Jadi lazim rasanya kalo kami minta waktu yang lebih buat mikirin jawaban dari pertanyaan sok intelek kamu, Mar!"

Emangnya kamu yang nyari jawaban dan pertanyaan sebatas dari buku?


Pokoknya hari ini presentasinya ga puas !!!

Hah, lada !!! Seuh hah....
Serasa makan cabe 3 truk..

Okay okay, no problem.
Enough.

Kalo curhatnya kepanjangan, ntar ga sempet bikin tugas ilmu politik.
Start smiling...

:) :) :)

Tuesday 27 October 2009

Pabrik Itu Bernama Sekolah

Saya terlewat kagum kepada seorang Izza Ahsin dalam bukunya Dunia tanpa Sekolah. Ia walaupun dengan umur yang masih begitu muda berani mengungkapkan pendapatnya terhadap dunia pendidikan. Izza baru berumur 15 tahun waktu itu. Saat itu dia kelas 3 SMP 3 bulan lagi UAN dan ia memberanikan diri untuk keluar (berhenti) sekolah. Karena ia menganggap sekolah hanyalah formalitas belaka (ya, saya setuju) dan telah memenjarakan segala kreatifitasnya (ya, setuju lagi). Sekolah menurutnya bukan lagi tempat yang pantas untuk mencari ilmu-ilmu yang akan menuntunnya untuk capai cita-citanya untuk jadi seorang penulis. Walaupun dengan berat hati, tapi akhirnya ibunda Izza rela melepaskan anaknya dari bangku sekolah. Walaupun setelah itu ia harus menerima berbagai macam cemoohan dan ejekan dari tetangga bahkan saudaranya sendiri. Namun begitu, ia malah dengan hebatnya bisa menulis buku berjudul Dunia Tanpa Sekolah. Takjub.

Saya sampai terkagum-kagum ketika baca tulisannya yang seperti ini Aku memilih melawan arus; membebaskan diriku sepenuhnya, tetapi juga mendapat tantangan berat dari luar. Yaitu, dari orang-orang yang menganggap anak yang tidak ingin sekolah, tetapi ingin belajar adalah lelucon; Sedangkan anak yang sekolah, tetapi tidak belajar adalah biasa Sungguh, pemikiran sederhana dari seorang Izza ini amat menggugah saya pribadi. Saya pun jadi berfikir, kenapa ada stigma seperti itu di masyarakat?

Sejarah sekolah

Sistem “sekolah” yang ada sekarang ini adalah hasil dari pencarian seorang Horace Mann yang pada tahun 1837 diangkat menjadi Commissioner of Education, semacam menteri pendidikan di Amerika.

Pendidikan di Amerika awalnya adalah dengan cara mengumpulkan siswa lalu menyuruhnya untuk menghafal teori untuk kemudian dites di depan. Parah. Ketika Amerika sedang meledak populasinya, dan kebutuhan akan pendidikan secara signifikan naik, maka ia pun pegi ke Eropa untuk mencari sebuah sistem pendidikan yang murah dan efektif.

Maka ditemukan dan dikembangkanlah sistem sekolah seperti sekarang ini. Ada guru, juga murid secara klasikal. Ada tingkatan kelas, ada materi pembelajaran dan ada tes (ujian) Yang sebenarnya ini adalah hasil adaptasi terhadap sistem militer Prusia (sekarang Jerman).

Kata kindergarten (bahasa Inggris : TK) sendiri sebenarnya adalah bahasa Prusia. Sistem sekolah Prusia digunakan untuk mendidik tentara. Dan karena yang akan dibentuk adalah suatu makhluk militer –yang tentunya siap pakai- maka harus ada yang berpangkat tinggi dan rendah, maka dibentuklah system Top-Down juga sistem ujian untuk menyaringnya.

Kloning siswa

Menarik kalau kita ingat kembali masa-masa SD dulu. Coba ingat lagi masa-masa itu. Masa-masa kita lagi lucu-lucunya. Tepatnya saat pelajaran kesenian. Dan ketika disuruh menggambar, apa yang digambar siswa? Pasti pemandangan. Ada dua buah gunung, dengan matahari yang berbentuk seperempat lingkaran timbul dari balik gunung itu. Di atasnya, ada banyak “m” yang ceritanya adalah burung. Juga ada awan bulat. Di bawahnya ada semacam garis-garis zigzag seperti sandi rumput yang menandakan bahwa itu adalah hutan. Di bawahnya, ada sawah terbentang dengan bentuk padi yang menyerupai “v” dengan beberapa buah rumah tersebar. Dan tepat di tengahnya, ada jalan raya, kalaupun tidak, pasti sungai.


Gambar ini hasil googling "pemandangan anak tk"

Familiar? Belum lagi masalah kapal-kapalan dari kertas. Pasti bentuknya itu lagi itu lagi. Terlihat di sini kebenaran pernyataan Izza Ahsin, sekolah memang benar-benar telah memenjarakan kreatifitas manusia.

Saya jadi ingat waktu kelas 2 SD dulu, saya pernah membuat gambar yang berbeda dari teman kebanyakan, kalau teman membuat pemandangan gunung, saya membuat pemandangan pantai. Memang gambarnya tak bagus bagus amat, tapi yang buat saya kecewa adalah cemoohan dari teman serta guru. Mereka bilang “Ko kamu bikin pantai sih?”

Refleksi

Hasilnya terlihat bukan? Sebagai contoh, para tentara kita itu jauh lebih “kembar” ketimbang yang kembar identik sekalipun. Mereka mendapat doktrin yang sama, mendapat “kekejaman” yang sama, mendapat “otoritas” kedisiplinan yang sama sampai rambut pun dipotongcepak sama. Mereka (maaf) bak produk robot-robot dari sebuah pabrik. Tanpa karakter sedikitpun. Tapi itu tak jadi masalah, karena mereka adalah tentara yang tugasnya adalah membela Negara. Mereka memang harus berstandar sama sesuai dengan prinsip kesamaan agar solidaritas yang amat sangat tetap hadir di antara mereka.

Tapi, apa itu yang diharapkan dari lulusan sekolah? Sudahlah, cukup Akpol dan Akmil yang bikin lulusan “robot” seperti itu, lulusan sekolah jangan. Lulusan sebuah sekolah apalagi universitas harus punya karakter yang dibutuhkan oleh negeri ini, harus punya kreatifitas dan daya saing.

Lihatlah hasil lulusan sistem sekarang. Mayoritas mereka adalah manusia-manusia robot yang kaku seolah tak dimasukkan program “perasaan” dalam memorinya yang kepenuhan teori itu. Lihat pula para “pejabat” yang terlihat tidak punya hati Karena dengan semena-mena mempermainkan rakyat juga uangnya. Mereka manusia, tapi tidak manusiawi.

Reformasi

Sekolah yang sekarang mirip pabrik ini– seharusnya tidak mensubstitusikan materi kepada peserta didiknya semacam itu. Karena bagaimanapun, Tuhan Yang MahaKuasa sudah menghadiahi masing-masing individu dengan kemampuan unik masing-masing. Pemerintah tidak boleh memukulratakan kemampuan semua siswa. Tuhan membuat manusia bukan untuk bersaing, melainkan untuk berdamping, karena antara manusia yang satu dan yang lainnya adalah sama-sama istimewa dan berharganya. Dan tak ada yang lebih hebat di antaranya.

Sekolah, saya rasa seharusnya “hanya” jadi pendamping dan sebagai salah satu fasilitas untuk para peserta didiknya mencari kemampuan uniknya atau si “aku yang hebat”nya masing-masing. Karena tidak semua orang secerdas Izza, yang mampu menemukan “Izza yang hebat” dalam dirinya melalui dunia kepenulisan.

Sunday 25 October 2009

Inspirasi : Izza Ahsin

Sayangnya, hanya gambar ini yang saya punya

Dia adalah salah satu sumber inspirasi terkuat yang saya miliki.

Emangnya apa sih inspirasi yang dia beri?

Pertama, dia telah secara berani dan bijak mengungkapkan kekesalannya pada sekolah formal dengan mengatakan bahwa sekolah formal itu begini dan begitu. Karena membaca perkataan inilah pemikiran saya terhadap sekolah mengalami revolusi : jadi pernah males sekolah. Hahai.

Nah, yang ini efek sampingnya. Yaitu merevolusi paradigma dan mengabrasi tebing stigma pendidikan yang memarasit di otak saya : bahwa sistem pendidikan di Indonesia ini sudah terlalu amburadul, dan harus segera diformat ulang biar tujuan pendidikan nasional seperti yang tercantum dalam alinea ke-4 pembukaan UUD 1945, "mencerdaskan kehidupan bangsa", bisa tercapai.

Kedua, kepribadian yang kuat. Dalam proses mengeluarkan dirinya sendiri dari sekolah formal ia mengalami banyak problematika (alah) menerpa dirinya dengan begitu kejam dan menyakitkan (alah). Dan itu ia hadapi dengan cerdas serta elegan. membuat saya merubah cara "rebel" ke orangtua menjadi lebih cerdas.

Ketiga, menulis buku. Membaca bukunya yang ia tulis pas tiga tahun lalu -masih jadi anak smp bo- membuat saya berfikir : hoalah, anak smp aja bisa nulis buku, masa saya ga bisa? ayo semangat !!!

Makasi atas segala inspirasi yang kamu kasih, Zza.

:) :) :)




Photobucket Photobucket Photobucket

Wanna be inspired? Explore this...