Apa yang kamu cari?

Kesenangan, lihat di enjoy
Pembelajaran, lihat di learn
Semangat, lihat di inspire


Saturday 30 January 2010

Les

Ada sebuah pertanyaan, “Sekolah tiga taun, tapi ko mau ujian masih les juga?” lalu “Abisnya materi di sekolah ngga ada yang nempel” kemudian “Emangnya les di situ enak ya?” lalu “Ya, ngerti banget. Belajarnya asik lagi”

Dan saya Cuma bisa berkesimpulan, kalau seperti itu, kenapa kita tidak usah sekolah saja dan dalam waktu satu tahun kita hanya les intensif UN, ikut ujian, dan kemudian lulus.

Jelas ada yang perlu ditanyakan di sini. Apa yang membedakan sekolah dan tempat bimbel? Materi? Sama. Angka dan huruf yang dipakai pun sama. Mungkin metodenya.

Seperti yang sudah disebutkan di atas, guru seharusnya sudah menggunakan metode pembelajaran yang mengasyikkan menurut muridnya. Kenapa harus ditambah “menurut muridnya”? Karena seringkali guru-guru mengaku telah menggunakan metode belajar yang menyenangkan, padahal menurut dirinya.

Sejauh pemerintah kita mengganti kurikulum namun tak kunjung merubah atau menyosialisasikan metode belajar yang menyenangkan bagi siswa, guru-guru kebanyakan – tidak semua – masih menggunakan cara konservatif seperti seorang juru pidato dan mendongeng secara panjang lebar tentang materi yang diajarkan. Ingat, gaya belajar siswa banyak macamnya (akan dibahas lebih lanjut)

Sedangkan di tempat bimbel, metode pembelajarannya lebih menyenangkan dan fleksibel. Sehingga tidak membuat siswa tertekan. Berikut ini beberapa “rahasia” tempat bimbel untuk mendamaisejahterakan siswanya :

- Jadwal yang fleksibel

- Guru yang hangat dan bersahabat

- Guru tidak hanya berceramah

- Pembelajaran yang melibatkan seluruh siswa

- Karena siswa sedikit, pendekatan guru pada murid secara individual dapat dengan mudah berlangsung

Saya tidak ingin mengatakan bahwa kalau sekolah ingin membuat senyum siswanya berarti harus menghilangkan jadwal masuk, atau menghilangkan seragam dan menggantinya dengan baju bebas. Saya juga tak ingin bilang harus menghilangkan tata tertib. Tapi ada tiga poin penting yang perlu disorot di sini. Yaitu guru yang hangat, tidak hanya berceramah dan punya pendekatan individual terhadap semua siswanya.

Ketiga hal ini nampaknya perlu dipraktekkan oleh para guru yang ingin selalu dirindukan oleh murid-muridnya.

Sehingga, “suasana” yang jadi komoditas bimbel terlaksana pula di kelas. Tapi, bukannya nanti tempat bimbel akan jadi sepi peminat ya?

Friday 20 November 2009

Pendidikan menurut ki Hajar Dewantara

Soewadri Soerjaningrat, atau Ki Hajar Dewantara, yang kita kenal sebagai Bapak Pendidikan Indonesia patut bersedih. Karena segala cita-citanya dalam dunia pendidikan telah disalahjalurkan oleh sistem ini.

Cita-cita

Dalam perspektif Ki Hajar Dewantara, seseorang dapat dikatakan menjadi terdidik apabila orang tersebut telah memenuhi tiga aspek dari keberadaan manusia. Yaitu : daya cipta (pemikiran), daya karsa (ketrampilan) dan daya rasa (perasaan).

Sebenarnya, jika dikonversikan ke dalam kurikulum sekarang, ketiga poin tersebut sudah dipenuhi. Karena pemikiran adalah arti lain dari kognitif, ketrampilan adalah poin psikomotor, pun perasaan yang merupakan penjelmaan dari poin afektif.

Salah jalur

Namun, sistem pendidikan sekarang ini seolah mengharamkan segala bentuk pemanusiaan seperti yang beliau sampaikan. Pendidikan sekarang tidaklah lagi akan menciptakan kualitas akademisi yang berkepribadian dan akan membentuk budaya bangsa nantinya, melainkan hanya menjadikan para pemilik teori yang susah untuk diterima masyarakat. Karena sudah terlihat dari berbagai kebijakan yang dijalankan yang menunjukkan betapa pendidikan di Indonesia ini hanya menekankan akan pemahaman teori.

Ketika yang menjadi patokan adalah teori, maka lulusannya pun – katakanlah – super pintar tapi ternyata tidak mempunyai karakter. Menjadi sebuah prototype yang pasaran.

Bangsa ini harus segera mereformasi segala bentuk kurikulum dan penekanan yang ada. Kalau kita ingin menghargai Bapak Pendidikan kita, maka kembalikanlah jalur pendidikan seperti yang beliau harapkan pada tahun 1922 dulu. Untuk memanusiakan manusia.

Faktor sukses

Berikut ini adalah hasil survey yang dilakukan oleh Thomas J. Stanley, Ph.D yang ditulis dalam bukunya, The Millionaire Mind. Survey yang dilakukan di Amerika ini, punya 1.001 responden. Dari 1.001 orang ini, 733 adalah miliuner dengan kekayaan di atas USD 1 juta. Hebat bukan? Daftar faktor sukses ini diurutkan dari yang paling berpengaruh, dan seterusnya.

1. Jujur pada semua orang
2. Disiplin tinggi
3. Supel, pintar bergaul
4. Punya pasangan yang mendukung
5. Kerja keras
6. Cinta pekerjaannya
7. Kepemimpinan yang baik
8. Semangat dan kompetitif
9. Hidup teratur
10. Bisa menjual ide atau produk
11. Investasi dengan bijak
12. Melihat peluang yang tak dilihat orang lain
13. Jadi bos atas diri sendiri, tidak mudah terpengaruh
14. Berani ambil resiko
15. Punya mentor yang baik
16. Berambisi untuk dihormati atau dihargai
17. Bikin usaha sendiri
18. Menemukan peluang
19. Punya energi besar
20. Fisik yang sehat
21. Punya IQ tinggi atau superior
22. Punya keahlian atau spesialisasi
23. Masuk sekolah atau universitas top
24. Mengabaikan kritik yang tiada guna
25. Hidup hemat
26. Iman kuat
27. Beruntung
28. Investasi di perusahaan publik
29. Punya penasehat investasi (keuangan) yang baik
30. Lulus dengan nilai terbaik atau hampir terbaik

Kalau kita lihat hasil survey tersebut, sangat sangat menunjukkan kalau sekolah itu memanglah tiada guna. Karena apa yang akan kita dapatkan dari 12 tahun sekolah dan 4 tahun kuliah hanyalah 4 poin, yaitu : disiplin (itu pun disiplin yang dipaksakan) ; IQ tinggi ; sekolah top ; lulus dengan nilai baik.

Saya bukan mau bilang bahwa seorang yang berpendidikan sukses tak akan sukses hidupnya, hanya saja kita tidak boleh memandang suksestidaknya seseorang hanya dari latar belakang pendidikannya saja. Banyak pula yang berpendidikan rendah malah lebih sukses daripada mereka yang luar biasa dalam pencapaian akademiknya.

Saya juga bukannya antisekolah atau skeptis terhadap pemerintah. Hanya saja, sistem pendidikan – kurikulum – di Indonesia harus segera direformasi karena sudah tidak sesuai dengan kebutuhan global.

Wednesday 28 October 2009

Hah, lada !!!

Hah, lada !!!

Tadi pas presentasi pengantar ilmu komunikasi, bu risma ngatain saya ga becus jadi moderator.
Uda gitu dibilang ga sopan gara2 saya ngatain si imar itu terlalu textbook.

Gawat, bu rismanya jd misinterpretasi ama ucapan saya.
Alhasil citra saya jadi sedikit merosot di hadapan bu risma.
Saya jadi takut bu risma melakukan labeling "anak ga tau etika sejagat" ke saya.

Padahal maksud saya ke si imar itu,
"Kalo ga bisa pake dan hapal bhs buku yang berbelit2, meningan pake bhs sendiri aja. ga usah maksa2 jadi akademisi dengan standar kosakata yang berkelas deh, Mar!"
Terus kalo emang si imar dapet pertanyaan dan jawabannya di buku, ngapain diatanyain ke kelompok kami?

Udah gitu ngatain kelompok kami dengan "udah, ga usah dijawab, temen aku udah dapet jawabannya kok" dan "kalo emang kalian ga bisa, kenapa moderator ga ngelempar pertanyaan ini ke semua?"

Well, hallo?
Siapa juga yang ga bisa jawab? toh saya berdiri juga karena saya mau jawab.


Belum lagi pengantar soal si imar yg begitu panjang dan terputus-putus, parahnya ga ada relevansinya sama soal yg kamu ajukan.
Jadi tujuan si imar pake pengantar itu apa? Apa cuma biar orang tahu kalo dia tahu soal "fungsi surat kabar" itu?

Dan satu lagi ya, kami ini make nalar dan logika penjawaban sendiri, tanpa buku.
"Jadi lazim rasanya kalo kami minta waktu yang lebih buat mikirin jawaban dari pertanyaan sok intelek kamu, Mar!"

Emangnya kamu yang nyari jawaban dan pertanyaan sebatas dari buku?


Pokoknya hari ini presentasinya ga puas !!!

Hah, lada !!! Seuh hah....
Serasa makan cabe 3 truk..

Okay okay, no problem.
Enough.

Kalo curhatnya kepanjangan, ntar ga sempet bikin tugas ilmu politik.
Start smiling...

:) :) :)

Photobucket Photobucket Photobucket

Wanna be inspired? Explore this...